Professional Documents
Culture Documents
Penyusun:
Rully Sandra
Cekli Setya Pratiwi
Mugiyanto
November 2016
MODUL PELATIHAN
PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PBB
TENTANG BISNIS DAN HAM
Memastikan Praktik Bisnis yang Menghormati Hak Asasi Manusia
Penyusun:
Rully Sandra
Cekli Setya Pratiwi
Mugiyanto
November 2016
I
DAFTAR ISI
Daftar Singkatan IV
Kata Pengantar VI
Tentang Manual Ini VII
Bab I: Sekilas tentang 1
Bab 2: Tinjauan Umum tentang Bisnis dan HAM 7
Bab 3: Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs) 15
Pilar 1: Kewajiban negara untuk melindungi HAM 18
Pilar 2: Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM 20
Pilar 3: Akses atas pemulihan 27
Pemulihan di Tingkat Perusahaan 28
Pemulihan Negara 29
Pemulihan Non-Negara 30
Bab 4: UNGPs bagi Pemangku Kepentingan Lain 35
Bab 5: Bagaimana dengan Indonesia? 41
Refleksi 43
Catatan untuk Trainer tentang Kegiatan Kecil 44
Lampiran 1: Tabel Kompilasi HAM dan Sumber Hukumnya 46
Lampiran 2: Rekomendasi bahan bacaan lain tentang UNGPs 49
Lampiran 3: Kunci jawaban untuk Kegiatan Kecil 5 50
III
DAFTAR SINGKATAN
IV
KK : Kepala Keluarga
Komnas : Komisi Nasional
KPA : Konsorsium Pembaruan Agraria
KPC : Kartika Prima Cipta
KTP : Kartu Tanda Penduduk
Ltd. : Limited company
MIGA : Multilateral Investment Guarantee Agency
NCP : National Contact Point
NKT : Nilai Konservasi Tinggi
OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development
OPPUK : Organisasi Penguatan dan Pengembangan
OXFAM : Oxford Committee for Famine Relief
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKB : Perjanjian Kerja Bersama
PLN : Perusahaan Listrik Negara
PPAB : Policy and Procedures Advisory Board
PT : Perseroan Terbatas
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
RAN : Rencana Aksi Nasional
RANHAM : Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia
RSPO : Roundtable for Sustainable Palm Oil
SA : Social Accountability
SDM : Sumber Daya Manusia
Serbundo : Serikat Buruh Perkebunan Indonesia
SOP : standard operating procedure
Tbk. : Terbuka
TNC : Transnational Company
TuK : Transformasi untuk Keadilan Indonesia
Indonesia
UI : Universitas Indonesia
UNGPs : United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights
UMKM : Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
UNCTAD : United Nations Conference on Trade and Development
UPR : Universal Periodic Review
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
VPSHR : The Voluntary Principles on Security and Human Rights
WALHI : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
V
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang karena limpahan rahmat-
Nya kami berhasil menerbitkan sebuah modul pelatihan yang berjudul Prinsip-Prinsip
Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM; Memastikan Praktik Bisnis yang Menghormati
HAM.
Modul pelatihan ini kami terbitkan sebagai bahan pendukung pencapaian program
Walking the Talk: Promoting Accountable Business through Advancement of United
Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP) Implementation in
Indonesia atau Mempromosikan Bisnis yang Beranggung Jawab dengan Mendorong
Pelaksanaan Pinrip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM (UNGP) di Indonesia.
Penyusunan modul sebagai bagian dari pelaksanaan program yang dijalankan oleh
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Oxfam di Indonesia dan
Indonesian Global Compact Network (IGCN) ini terlaksana berkat dukungan Uni Eropa di
Indonesia.
Modul pelatihan ini akan digunakan sebagai materi utama pelatihan tentang bisnis dan
HAM untuk berbagai kalangan seperti serikat buruh atau serikat pekerja, organisasi petani,
organisasi masyarakat sipil, jurnalis, pegawai pemerintah dan sektor swasta atau dunia
usaha. Modul pelatihan ini disusun dengan memberi tekanan lebih pada isu-isu yang
terkait dengan industri pangan dan pertanian serta perkebunan kelapa sawit.
Kami berharap bahwa modul yang disusun melalui kajian literatur, kunjungan lapangan
dan expert review ini mampu memberikan pemahaman yang komprehensif tentang UNGP
dalam kaitannya dengan praktik bisnis dan penghormatan HAM di Indonesia.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Rully Sandra dan
Cekli Setya Pratiwi yang telah bekerja keras menyusun modul pelatihan ini, serta rekan-
rekan di Oxfam di Indonesia, IGCN, Business and Human Rights Working Group (BHRWG)
serta Elsam.
Mugiyanto
Program Officer Senior untuk HAM dan Demokrasi
VI
TENTANG MANUAL INI
Pada bulan Juni 2011, Dewan HAM PBB menerima Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan
HAM (UNGPs), yang menjadi pedoman bagi negara dan perusahaan untuk mencegah
dan mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di sektor bisnis. Salah satu upaya yang
perlu dilakukan terkait dengan isi dan mandat UNGPs ini adalah mempromosikan sektor
bisnis yang bertanggung jawab di seluruh negara, termasuk Indonesia, yang mengadopsi
prinsip-prinsip pertanggungjawaban korporasi untuk menghormati hak asasi manusia.
Selain itu, perlu juga meningkatkan kepedulian dan kapasitas pemangku kepentingan lain
yang beririsan dengan kegiatan bisnis.
Manual ini dikembangkan sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan relasi antara
HAM dan Bisnis dan implementasinya di Indonesia, mempromosikan UNGPs beserta
implementasinya. Manual ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pemangku
kepentingan, seperti jurnalis, serikat pekerja, serikat tani, organisasi masyarakat sipil
dan juga perusahaan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang UNGPs. Manual ini
secara khusus ditujukan untuk industri pangan dan pertanian, oleh karenanya banyak
menggunakan contoh-contoh permasalahan yang dialami dalam sektor tersebut.
Manual ini berusaha menjelaskan secara ringkas tentang hak asasi manusia, keterkaitan
bisnis dan HAM, isi dari tiga pilar Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM
(UNGPs): Melindungi, Menghormati, dan Pemulihan, serta posisi Indonesia pada saat
Manual ini dibuat pada tahun 2016. Sejumlah gambar dan diagram digunakan dalam
Manual ini untuk lebih membantu pemahaman para pengguna. Peserta juga diharapkan
untuk terlibat aktif melalui sejumlah diskusi dan kegiatan kelompok yang disediakan.
Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini menggunakan metode pembelajaran
orang dewasa, dimana pelatih menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta untuk berbagi pengalaman, mengemukakan
pendapatnya, secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang telah disusun
dalam pelatihan ini baik dalam bentuk diskusi, brainstorming, curah pendapat, atau kerja
kelompok.
Manual ini ditujukan untuk melengkapi 2 (dua) dokumen lain dari OXFAM, INFID dan IGCN
berupa studi data awal tentang Bisnis dan HAM dalam industri makanan dan pertanian di
Indonesia dan Alat Penilaian HAM dan Bisnis berbasis Masyarakat (COHBRA).
Informasi lebih lanjut tentang penggunaan manual ini, silakan hubungi INFID di alamat
surel: mugiyanto@infid.org atau yolandri@infid.org.
VII
VIII MODUL PELATIHAN
BAB I:
SEKILAS TENTANG
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Tujuan Bab 1:
a. Peserta pelatihan diharapkan memahami pengertian dasar HAM dan pentingnya
Hukum HAM Internasional dan Nasional dalam menjamin HAM yang bersifat
melekat sebagai bagian dari harkat dan martabat manusia.
b. Peserta pelatihan diharapkan memahami kedudukan negara sebagai pemegang
utama tanggung jawab penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM
semua orang tanpa terkecuali.
Bahan:
c. Kertas plano, spidol besar, kertas aneka warna.
d. modul/ manual
e. Komputer, proyektor, layar
HAM diakui secara universal dan diatur dalam sejumlah instrumen internasional. Di
pertengahan Abad 20, istilah hak asasi manusia didefinisikan sebagai hak-hak yang
diatur dalam 3 (tiga) instrumen internasional utama yang dianggap sebagai Konstitusi
HAM Internasional (International Bill of Rights) yaitu adalah Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (ICCPR) tahun 1966 dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya (ICESCR) tahun 1966. Akan tetapi kemudian, instrumen HAM internasional
dan regional telah mencantumkan HAM yang diatur dalam Konstitusi HAM Internasional
secara lebih rinci dan spesifik, misalnya secara khusus melindungi orang dan kelompok
rentan, termasuk anak, masyarakat adat, pengungsi dan perempuan. Selain itu, beberapa
instrumen HAM juga mengatur hak-hak baru. Saat ini ada 7 (tujuh) instrumen utama
internasional lain tentang HAM.3
Di Indonesia, HAM diakui di dalam UUD 1945 setelah Amandemen tahun 2002, terutama
dalam pasal-pasal 27, 28A-J, 29, 31, 33 dan 34. Secara khusus, Indonesia juga sudah
memiliki Undang-Undang tentang HAM yaitu UU No. 39 tahun 1999. HAM juga disebut
sebagai salah satu dasar pertimbangan di berbagai peraturan perundang-undangan lain
(lihat Lampiran 1). Ratifikasi Indonesia terhadap berbagai instrumen HAM Internasional
juga sangat penting dan menjadi bagian dari hukum positif serta perlu diharmonisasikan
dengan berbagai produk hukum di tingkat nasional dan lokal.
Tanggung jawab utama untuk menegakkan HAM ada di tangan negara. Negara disini
1 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), Mukadimah dan Pasal 1.
2 DUHAM, Pasal 29(2).
3 Ketujuh instrumen ini adalah: Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Menentang Penyiksaan, dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT), Konvensi tentang Hak-Hak Anak
(CRC), Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICRMW),
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (ICRPD), Konvensi Internasional untuk Perlindungan Bagi Semua Orang dari
Penghilangan Paksa (ICPPED), Untuk daftar lengkap, isi, serta penjelasan instrumen HAM ini dapat dilihat di situs PBB: www.
un.org dan OHCHR: www.ohchr.org.
2 MODUL PELATIHAN
diwakili oleh semua kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan tindakan yang
diambil oleh aparatur negara dari legislatif, eksekutif dan yudikatif, dari tingkat nasional
sampai daerah.
NEGARA
Memajukan HAM
Melindungi HAM
Memenuhi HAM
Dalam kehidupan sehari-hari, seperti apakah bentuk HAM itu? Kewajiban negara untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi berarti negara harus menahan diri untuk tidak
ikut campur atau membatasi HAM, misalnya: hak atas privasi, hak untuk ikut serta dalam
pemilihan kepala daerah/negara, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Negara
juga berkewajiban untuk melindungi setiap orang dari pelanggaran HAM, termasuk yang
dilakukan oleh pihak lain, misalnya: melindungi kelompok minoritas dari serangan kelompok
mayoritas, melarang aparat negara melakukan diskriminasi dalam memberikan pelayanan
publik, atau mengeluarkan peraturan yang menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat
adat, memastikan identitas warga negara seperti Akta Kelahiran, KTP, Kartu Keluarga
Pelanggaran HAM berbeda dari pelanggaran hukum biasa. Perbedaannya bukan dari
jumlah korban atau besaran kerugian, tetapi dari siapa atau apa yang diwakili oleh
pelakunya (negara). Perhatikan ilustrasi sederhana berikut:
A ternyata adalah aparat negara yang sedang bertugas dan menggunakan senjata api atau
kekerasan secara tidak sah dan tidak proporsional, sehingga menyebabkan tewasnya B (contoh:
Aparat gabungan TNI dan Polisi mengamankan demo buruh perkebunan di Lampung, 2016).
Aparat
negara VS B = Pelanggaran HAM
Atau,
4 MODUL PELATIHAN
A dan B bukan aparat negara, namun Negara pernah mengeluarkan kebijakan atau
peraturan yang mendorong pembunuhan terhadap B (contoh: pembantaian suku Tutsi
oleh suku Hutu di Rwanda tahun 1994, Afrika, yang berakhir menjadi salah satu kasus
genosida terbesar dalam sejarah manusia).
Peraturan/
Kebijakan/ A VS B = Pelanggaran HAM
Negara
Atau,
A dan B bukan aparat negara, tetapi Negara membiarkannya dan tidak melakukan tindakan
apapun untuk menyelidiki dan menghukum B secara efektif (contoh: serangan terhadap
Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat tahun 2011).
Negara
tidak
melakukan A VS B = Pelanggaran HAM
apa-apa
Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM bukan hanya genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan seperti yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
saja, melainkan semua bentuk pelanggaran, perampasan, dan pembatasan yang tidak sah
dari hak-hak yang diatur dalam instrumen HAM internasional yang sudah menjadi bagian
dari hukum Indonesia. Tanpa melihat jumlah minimal korban atau besaran dampak yang
diakibatkan.
Ketika terjadi pelanggaran HAM maka si pelaku (negara) harus dapat dimintakan
pertanggungjawabannya (contoh: membatalkan kebijakan, mencabut peraturan, atau
Dalam hal ini, peran masyarakat sipil dan media menjadi sangat penting untuk memberikan
pendampingan kepada korban, dan menyetarakan posisi tawar korban yang sering kali
tidak mengetahui hak-haknya, dan mengawasi proses yang berlangsung dan juga untuk
membantu mengurangi kemungkinan pelanggaran yang sama dialami oleh orang atau
kelompok lain.
Apa saja sebenarnya HAM yang kita miliki? Pertanyaan ini akan dijawab melalui kegiatan
kecil berikut.
ll Perempuan
ll Anak
ll Pekerja/Buruh Perkebunan
ll Masyarakat Adat
ll Penyandang Disabilitas
ll Tahanan
Diskusikan dalam kelompok masing-masing, HAM apa saja yang dimiliki oleh nama
kelompok tersebut.
6 MODUL PELATIHAN
BAB 2:
TINJAUAN UMUM TENTANG
BISNIS DAN HAM
Tujuan Bab 2:
a. Peserta pelatihan diharapkan memahami hubungan antara Bisnis dan HAM
b. Peserta pelatihan diharapkan dapat mengidentifikasi jenis-jenis perusahaan yang ada
di wilayah mereka baik yang bersifat lokal, nasional, internasional.
c. Peserta pelatihan diharapkan dapat mengidentifikasi dampak-dampak positif dan
negatif dari kegiatan bisnis terkait HAM.
Kegiatan bisnis dan masyarakat memiliki hubungan saling membutuhkan dan memberikan
dampak positif dan negatif. Di satu sisi, perusahaan membutuhkan masyarakat sebagai
pekerja untuk melangsungkan usahanya. Sebaliknya kegiatan bisnis menciptakan
lapangan pekerjaan, meningkatkan taraf hidup masyarakat, yang pada akhirnya ikut
berkontribusi pada peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi di sisi lainnya,
kegiatan bisnis dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, karena aktivitas bisnis
selalu berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
Misalnya saja, perusahaan yang merekrut tenaga kerja tidak menjalankan kewajiban dalam
pemberian upah yang layak dan perlakuan secara adil bagi pekerjanya. Perusahaan enggan
memberikan ruang pekerja untuk membentuk Serikat Pekerja yang dipilih secara kolektif
dan dapat mewakili kepentingan-kepentingan pekerja secara independen. Aktivitas
bisnis tidak memperhatikan kondisi geografis di lokasi dimana perusahaan menjalankan
aktivitasnya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Atau kegiatan bisnis secara
sengaja melakukan aktivitas yang berdampak pada penyingkiran atau pengabaian hak-
hak kelompok rentan atau masyarakat adat.
Jika tanggung jawab HAM berada di tangan negara, lalu mengapa pelaku usaha juga
diminta bertanggung jawab?
Jawaban pertama secara normatif dapat kita temukan dalam Mukadimah DUHAM, yang
menyatakan bahwa semua organ masyarakat harus mengusahakan mempromosikan
penghormatan atas hak dan kebebasan, menjaga sifat universal, pengakuan dan
penghormatan efektif atas HAM di setiap wilayah negaranya. Walaupun tidak ada
penafsiran khusus dari mukadimah ini, tetapi bisa disimpulkan bahwa pelaku usaha adalah
salah satu organ masyarakat, maka dari itu mereka harus memenuhi kewajiban HAM-nya.
Selain itu, pasal 1(6) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian.
Kata kelompok orang tersebut dapat dikategorikan termasuk korporasi. Walaupun
pasal ini sedikit bergeser dari makna dasar tentang pelanggaran HAM yang diakui secara
internasional, tetapi dalam konteks bisnis, pasal tersebut memperkuat dasar untuk
menekankan tanggung jawab HAM pelaku usaha.
8 MODUL PELATIHAN
Selain itu, untuk HAM yang terkait dengan lingkungan hidup, UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat pertanggungjawaban pidana bagi perusahaan/
korporasi yang berbuat merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup (Pasal 41 s/d
pasal 46). Sebagaimana kita ketahui perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
itu biasanya menimbulkan pula pelanggaran HAM.
Catatan: Pengaduan yang diterima bukan berarti pihak yang diadukan terbukti bersalah.
Tabel ini hanya menggambarkan bahwa jumlah pengaduan yang berhubungan dengan
perusahaan menempati peringkat kedua terbanyak selama tiga tahun berturut-turut.
Tetapi jawaban paling nyata dapat kita lihat dalam interaksi manusia sehari-hari. Semenjak
manusia sudah tidak lagi bisa memenuhi semua kewajibannya sendiri ataupun melalui
barter, bisnis menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan. Yang dimaksud dengan
bisnis disini bukan hanya tentang perusahaan besar atau perusahaan transnasional saja,
tetapi semua bentuk usaha, ukuran usaha, sektor usaha, kepemilikan, dan struktur usaha.
Dengan kata lain, dari UMKM, koperasi, CV, BUMN/D, Perseroan Terbatas, perusahaan
perseorangan/keluarga dari semua sektor adalah pelaku usaha, dan memiliki pengaruh
untuk memperburuk atau memperbaiki HAM.
Walaupun secara umum, semua bentuk usaha berpengaruh pada penghormatan HAM,
tetapi secara khusus perusahaan transnasional memiliki pengaruh yang jauh lebih besar.
Yang dimaksud dengan Perusahaan Transnasional disini menurut UNCTAD (Konferensi
PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan) adalah:
4 Asep Mulyana, SIP., MA. (Peneliti Komnas HAM), Polisi dalam Penanganan Konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang Berperspektif
HAM, Februari 2016.
Terkadang bahkan pengaruh perusahaan transnasional ini dapat lebih besar daripada
pemerintah suatu negara karena kemampuan ekonomi mereka yang jauh lebih besar
daripada negara tempat mereka beroperasi. Perkembangan bisnis dapat membantu
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tetapi di saat yang
sama juga dapat membawa dampak negatif untuk HAM.
Beberapa contoh pengaruh perusahaan terhadap HAM, pertama, ketika suatu UMKM
produsen makanan secara sengaja menggunakan bahan berbahaya dalam produknya
untuk meningkatkan marjin keuntungan, tindakan tersebut dapat berdampak pada
kesehatan dan keselamatan nyawa konsumennya.
10 MODUL PELATIHAN
Atau kedua, ketika perusahaan konsesi kayu memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat
di pedalaman tentang pentingnya dokumentasi hukum atas lahan yang sudah mereka
miliki selama beberapa generasi, dan kemudian merampas lahan tersebut tanpa adanya
Persetujuan dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC), dengan dalih mereka sudah
memiliki sertifikat atau hak guna usaha atas lahan tersebut. Tindakan seperti ini tentunya
akan berdampak besar pada hak masyarakat untuk hidup, atas lahan, untuk bertempat
tinggal, atas lingkungan yang bersih, atas air, dan bahkan terkadang untuk merasa aman,
bebas dari intimidasi.
Atau ketiga, ketika suatu perusahaan transnasional membeli bahan baku produknya
dari perusahaan pemasok lain, dan hanya mencari harga termurah dan menutup mata
terhadap kondisi kerja yang tidak layak, jam lembur yang berlebihan, penggunaan pekerja
anak, atau upah yang sangat kecil. Dengan tidak mempedulikan hal ini, akan mengirimkan
pesan kepada pemasok bahwa mereka menyetujui praktik tersebut sehingga kondisi ini
akan terus berlangsung dan pekerja akan terus menderita.
5 https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/35451/business-toolkit.pdf
12 MODUL PELATIHAN
Keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran HAM dapat secara langsung atau tidak
langsung. Contoh-contoh di atas menunjukkan pengaruh langsung perusahaan terhadap
penikmatan HAM. Selain itu, perusahaan juga dapat mempengaruhi HAM secara negatif
dengan tidak langsung melalui kontribusinya atau penyertaan, baik secara langsung atau
penyertaan yang menguntungkan atau penyertaan secara diam-diam6.
Sekarang bukan lagi masanya pelaku usaha hanya memikirkan keuntungan belaka. Cara
berpikir seperti itu dianggap sudah ketinggalan zaman dan hanya menanti kehancuran
pelaku usaha tersebut. Sekarang, pelaku usaha juga diminta untuk berlomba-lomba
mengetahui dan menunjukkan (knowing and showing) kinerja dan etika usaha terbaik
mereka.
Berbagai sektor industri sudah mulai menyadari hal ini dan mengembangkan seperangkat
peraturan dan prinsip yang terkait HAM yang harus dipatuhi oleh anggota mereka,
misalnya:
6 Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Korporasi Transnasional Dalam Pelanggaran Berat HAM, 2012, hal. 106.
Sejauh mana kegiatan bisnis dapat memenuhi tanggung jawab dalam menghormati HAM,
dapat kita lihat dalam berapa aspek:
1. Apakah pelaku bisnis sudah menerapkan pasal-pasal yang relevan dari Prinsip--Prinsip
Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Bisnis dan sejauh mana prinsip-prinsip
tersebut telah dimasukkan ke dalam proses dan kebijakan yang mengatur seluruh
aktivitas bisnis mereka.
2. Apakah perusahaan telah memasukkan HAM ke dalam Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) walaupun tidak diatur secara eksplisit. Dalam menilai
dan menyikapi dampak kegiatan operasional perusahaan, sudahkah perusahaan
berkonsultasi dengan pihak-pihak yang mungkin akan terkena dampaknya, termasuk
masyarakat adat, dan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Dalam kondisi dimana perusahaan dinilai menjadi penyebab atau berkontribusi secara
langsung terhadap dampak HAM yang merugikan, sudahkan Perusahaan menyediakan
atau bekerja sama dalam melakukan mekanisme pemulihan melalui mekanisme atau
proses yang sah.
4. Perusahaan juga dituntut untuk terus mengambil peran dalam upaya meningkatkan
perlindungan HAM dengan terus menerus mendukung dan mendorong Pemerintah
untuk melakukan perubahan regulasi, mempromosikan HAM, sehingga terjadi
perubahan secara positif dalam pelaksanaan HAM dalam kegiatan bisnis.
5. Sejauh mana perusahaan memastikan bahwa komunikasi dengan pemerintah, badan
pengawas, dan otoritas publik selalu konsisten dengan komitmen HAM.
14 MODUL PELATIHAN
BAB 3:
PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PBB
TENTANG BISNIS DAN HAM
(UNGPs)
Tujuan Bab 3:
a. Peserta pelatihan diharapkan memahami prinsip-prinsip Panduan PBB tentang
Bisnis dan HAM (UNGPs) dari 3 Pilar Utama.
b. Peserta pelatihan diharapkan memahami bagaimana seharusnya masing-masing
Pilar dari Pedoman UNGPs diimplementasikan oleh Perusahaan.
c. Peserta pelatihan diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai tantangan yang
dihadapi oleh masing-masing pihak dalam penerapan prinsip UNGPs.
Praktik-praktik usaha yang melanggar HAM ini terkesan bisa melenggang santai karena
ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawabannya, karena HAM dipandang sepenuhnya
sebagai wilayah kewajiban negara. Masyarakat internasional juga berusaha melakukan
inisiatif multi-pemangku kepentingan untuk memperbaiki etika bisnis perusahaan, salah
satunya adalah Inisiatif Global Compact yang disampaikan dalam acara tahunan Forum
Ekonomi Dunia tahun 1999. Sekretaris Jendral PBB pada saat itu, Kofi Annan, menantang
para pemimpin bisnis dunia untuk memanusiakan pasar global dengan menjalankan 10
Nilai dan Prinsip Global Compact. Prinsip Global Compact terdiri dari empat bagian utama
tentang HAM, ketenagakerjaan. lingkungan hidup, dan anti korupsi. Sampai saat ini inisiatif
sukarela ini telah hadir di 166 negara dengan jumlah perusahaan anggota sebanyak 8902.9
Pada tahun 2005, Kofi Annan menunjuk Profesor John Ruggie dari Amerika Serikat sebagai
Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral PBB dengan mandat mengakhiri kebuntuan diskusi
tentang tanggung jawab HAM perusahaan. Mandat yang seharusnya hanya untuk tiga
tahun ini akhirnya berlangsung selama enam tahun dengan ratusan konsultasi dengan
7 Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, U.N.
Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/L.11 at 52 (2003).
8 HRRC, Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study, Pendahuluan oleh Prof. Christine Kauffman, paragraf 8
9 Per bulan Agustus 2016.
16 MODUL PELATIHAN
negara, perusahaan, dan pemangku kepentingan dari seluruh dunia. Kerja keras ini
tidak sia-sia karena akhirnya Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM untuk
menerapkan Kerangka PBB tentang Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan (untuk
selanjutnya disebut dengan UNGPs) diterima secara aklamasi oleh Dewan HAM PBB
pada bulan Juni tahun 2011.
UNGPs terdiri dari 31 prinsip yang dibagi ke dalam 3 (tiga) pilar, pertama tentang kewajiban
negara melindungi HAM, kedua tentang tanggung jawab perusahaan menghormati HAM,
dan ketiga memastikan kesesuaian hak dan kewajiban yang disebut dalam dua pilar
pertama dengan akses korban untuk mendapatkan pemulihan.
Pilar 1 terdiri dari 10 (sepuluh) Prinsip dimana Prinsip 1 (satu) merupakan salah satu dari dua
prinsip yang menggunakan kata yang lebih tinggi derajat keharusannya, Must (wajib),
sementara 26 (duapuluh enam) Prinsip lainnya menggunakan kata yang lebih halus,
Should (harus). Keharusan yang diminta UNGPs dari negara ini adalah untuk melindungi
dari pelanggaran HAM yang terjadi di dalam wilayah dan/atau yurisdiksinya yang dilakukan
oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan.
Sejalan dengan tanggung jawab HAM negara yang sudah dibahas di Bab I, Negara diminta
untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memberikan ganti rugi kepada korban
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga, seperti perusahaan, dengan cara
mengesahkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang efektif dan
diperlukan serta menegakan peraturan tersebut jika terjadi pelanggaran.
Salah satu tugas penting negara adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-
undangan agar tidak ada isi peraturan yang bertentangan atau bertolak belakang, dan
memastikan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan pelaksana di tingkat
kementerian dan pemerintah kabupaten/kota) selaras dengan ketentuan perlindungan
HAM. Salah satu tindakan pertama yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan
pendataan peraturan yang bermasalah (mis: Undang-Undang Pertambangan dan Undang-
Undang Kehutanan) dan merancang revisi yang diperlukan untuk diajukan ke DPR.
Selain itu, negara harus memastikan semua tindakan dan kebijakannya yang berhubungan
dengan kegiatan bisnis mematuhi ketentuan HAM yang sudah menjadi bagian dari hukum
nasional dan diketahui oleh pelaku bisnis di negaranya (lebih lanjut tentang kewajiban
negara lihat Kegiatan Kecil 3). Untuk memastikan pelaku bisnis mengetahui tentang
komitmen pemerintah ini, pemerintah, melalui kementerian terkait, dapat bekerja sama
dengan asosiasi bisnis (mis: APINDO, GAPKI, AKUMINDO, atau GAPMMI), Kamar Dagang
Indonesia (Kadin), organisasi masyarakat sipil (mis: IGCN) untuk melakukan konsultasi dan
diseminasi.
Persyaratan ini tentunya menjadi lebih penting jika kita berbicara tentang BUMN/D yang
notabene adalah perusahaan bentukan pemerintah. Sehingga, tidak dapat ditolerir apabila
kondisi dan komitmen HAM BUMN/D lebih rendah daripada perusahaan swasta.
ll Mekanisme HAM PBB (berbasis perjanjian atau melalui Peninjauan Universal Berkala
atau UPR); atau
18 MODUL PELATIHAN
ll Kelompok Kerja tentang HAM dan Perusahaan Transnasional dan Bentuk Usaha Lain
(Working Group on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and
Other Business Enterprise); atau
ll Pelapor Khusus PBB; atau
ll Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat; atau
ll Komisi Pemeriksaan ILO; atau
ll Mekanisme di bawah Bank Dunia (IFC, IBRD, IDA, MIGA, ICSID); atau
ll Bank Pembangunan Tingkat Kawasan (mis: Bank Pembangunan Asia); atau
Kegagalan negara tersebut juga dapat diadukan di tingkat nasional, misalnya kepada
Lembaga HAM Nasional (contoh: Komnas HAM), Ombudsman, atau diajukan ke Mekanisme
Peradilan (Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya atau Mahkamah Konstitusi)
agar negara memperbaiki kesalahannya.
Berikut ini adalah contoh tindakan negara yang selaras dengan Pilar 1 (satu) UNGPs:
Pada tahun 2013, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan peraturan pelaporan yang
lebih ketat untuk perusahaan Amerika yang mau berinvestasi di Myanmar (dikenal dengan
nama Persyaratan Pelaporan Burma untuk Investasi yang Bertanggung Jawab) karena
reputasi HAM Myanmar yang buruk di masa lalu dan preseden keterlibatan perusahaan
Amerika dalam sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh junta militernya. Laporan
tahunan ini harus secara rinci menjelaskan kebijakan dan prosedur terkait dengan
HAM, hak-hak pekerja, pelestarian lingkungan hidup, penguasaan lahan dan masalah-
masalah HAM utama lainnya yang sesuai dengan konteks Burma. Amerika Serikat melihat
pendekatan ini dapat mengurangi risiko HAM di masa depan.
Situasi di kolom kiri merupakan contoh tindakan pemerintah yang mungkin berdampak
negatif terhadap perlindungan HAM. Carilah pasangan yang tepat di kolom kanan sebagai
tindakan perbaikan yang dapat dilakukan negara.
20 MODUL PELATIHAN
Hak Mendasar di Tempat Kerja10 (Prinsip 12), bentuk tanggung jawab yang diharapkan dari
perusahaan (Prinsip 13), dan perusahaan apa saja yang diharapkan menghormati HAM
(Prinsip 14).
UNGPs meminta perusahaan bisnis menghormati semua HAM yang diakui dalam Konstitusi
HAM Internasional dan Prinsip serta Deklarasi yang diterima secara internasional. Dalam
praktiknya, hak-hak ini tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan nasional
yang mengandung ketentuan yang berhubungan dengan HAM. Akan tetapi, apabila
terjadi kesenjangan antara peraturan domestik dengan instrumen HAM internasional,
maka standar internasional yang berlaku. Perusahaan yang beroperasi di daerah yang
mengalami konflik, juga diminta menghormati ketentuan-ketentuan dalam hukum
humaniter internasional yang berlaku pada saat konflik bersenjata/perang.
HAM disini bukan berarti hanya menyangkut masalah SDM atau ketenagakerjaan saja,
tetapi juga aspek sosial-ekonomi dan lingkungan yang dipengaruhi oleh keberadaan dan
operasi perusahaan. Perusahaan diminta untuk bertanggung jawab memastikan investasi,
keberadaan, operasi, dan rantai pasokannya tidak melanggar HAM dan mengambil
langkah-langkah pemulihan yang adil dan diperlukan jika pelanggaran terjadi. Selain itu,
perusahaan diharapkan untuk mengkomunikasikan pendekatan HAM-nya dengan para
pemangku kepentingan dan mendengarkan masukan dan umpan balik dari mereka.
Salah satu tantangan terbesar untuk penerapan Pilar ke-2 ini adalah selama ini pelaku
bisnis tidak melihat HAM sebagai unsur yang penting untuk usaha mereka. Sehingga, tidak
banyak pelaku bisnis yang memiliki pemahaman tentang HAM. Tantangan lainnya adalah
banyak pelaku bisnis yang merasa hal ini hanya akan menjadi beban tambahan untuk
mereka dan komitmen HAM adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
transnasional, tetapi tidak untuk UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) atau perusahaan
lokal.
Tetapi, mengingat praktik bisnis dapat secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
penikmatan HAM pihak lain, tidak hanya para pekerjanya, tetapi juga pelanggan, masyarakat
sekitar tempat usaha, konsumen dan usaha lain yang berada dalam rantai pasokannya.
Maka wajar jika perusahaan bisnis juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati
HAM.
Ketika perusahaan bisnis beroperasi dalam suatu konteks tertentu maka mereka
berkewajiban untuk melakukan penilaian tentang HAM mana yang paling relevan atau
paling terkena dampak dari operasi mereka (materialitas), misalnya: perusahaan pertanian
10 Untuk daftar lengkap konvensi dan rekomendasi ILO, lihat di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---normes/
documents/genericdocument/wcms_230305.pdf. Delapan Konvensi ILO utama adalah sebagai berikut: (1) Konvensi tentang Hak
untuk Berasosiasi dan Perlindungan atas Hak untuk Berasosiasi, 1948 (No. 87); (2) Konvensi tentang Hak untuk Berserikat dan
Melakukan Penawaran Kolektif, 1949 (No. 98); (3) Konvensi tentang Kerja Paksa, 1930 (No. 29); (4) Konvensi tentang Penghapusan
Kerja Paksa, 1957 (No. 105); (5) Konvensi tentang Usia Minimum, 1973 (No. 138); (6) Konvensi tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan
yang Terburuk untuk Anak, 1999 (No. 182); (7) Konvensi tentang Remunerasi yang Setara, 1951 (No. 100); (8) Konvensi tentang
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No. 111).
Perusahaan tidak dapat berdalih bahwa mereka tidak menyadari efek negatif dari operasi
atau kegiatannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena seharusnya
perusahaan melakukan uji tuntas (due diligence) yang memadai tentang tanggung
jawab mereka, dan jika hal tersebut dilakukan dengan benar maka mereka sudah bisa
mengidentifikasi dan mengantisipasi efek negatif tersebut.
Uji tuntas disini berarti adanya pernyataan kebijakan perusahaan tentang HAM; penilaian
atas setiap kegiatan atau proyek yang berpotensi berdampak pada HAM; mengintegrasikan
kebijakan HAM di seluruh bagian perusahaan, dan bukan cuma dianggap sebagai
tambahan dari tanggung jawab sosial perusahaan, serta adanya mekanisme pelacakan
dan tanggung jawab pelaporan.11
Sebagai ilustrasi, Pilar 2 (dua) ini mengharapkan perusahaan bisnis untuk memiliki
komitmen dan sistem internal yang jelas untuk menghormati HAM dan sistem tersebut
harus dikomunikasikan kepada para pemasok, anak perusahaan, mitra kerja dan semua
pemangku kepentingan lain, seperti pada gambar berikut:
22 MODUL PELATIHAN
Penjelasan tentang Ilustrasi Pilar Kedua:
Kemudian, perusahaan harus mengidentifikasi risiko dan potensi dampak yang ada, lalu
menerapkan komitmen ini dalam rantai pasokannya, yang berarti semua distributor,
pemasok bahan mentah, penjual, dan anak serta cabang perusahaan harus mengetahui
tentang komitmen HAM ini dan akan dinilai kinerjanya juga berdasarkan kemampuan
mereka menghormati HAM. Jika diperlukan, perusahaan harus meninjau ulang dan
merevisi peraturan perusahaan agar selaras dengan ketentuan HAM, memberikan
pelatihan tentang standar-standar HAM untuk pegawai serta menunjuk satu divisi khusus
yang bertugas mensosialisasikan dan memeriksa atau melakukan uji tuntas tentang
penghormatan HAM dalam setiap operasi perusahaan.
Komitmen ini juga harus diketahui oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat
sekitar, misalnya diumumkan lewat buletin perusahaan, laporan tahunan, situs internet,
dan dalam komunikasi berkala yang dilakukan dengan pihak pemangku kepentingan
eksternal. Unsur-unsur yang perlu dicantumkan perusahaan dalam laporannya dapat
dilihat dalam Kerangka Pelaporan UNGPs.12
Pelaporan tentang komitmen HAM perusahaan harus dibuat secara transparan tentang
risiko dan peluang yang dihadapi perusahaan serta dampak positif maupun negatif yang
dialami masyarakat. Laporan yang dibuat secara berkala akan membantu perusahaan
mengukur sejauh mana mereka sudah memperbaiki praktik usahanya agar sejalan dengan
prinsip-prinsip HAM. Salah satu contoh proses yang dapat dilakukan perusahaan untuk
memastikan ini salah satunya adalah Audit HAM, Sertifikasi ISO 26000 atau SA 8000
tentang tanggung jawab sosial. Selain itu ada mekanisme lain juga yang dapat digunakan
untuk memeriksa uji tuntas perusahaan, salah satunya adalah metode COBHRA (dijelaskan
lebih lanjut di Bab 4)
Perusahaan juga harus memiliki mekanisme pengaduan yang benar dan dapat
mengakomodir pengaduan dari saksi kunci atau salah satu pelaku, yang akrab disebut
sebagai whistleblower. Selanjutnya, perusahaan harus memiliki mekanisme pemulihan
atau remediasi atas dampak negatif HAM yang diakibatkannya (penjelasan lebih lanjut
tentang mekanisme pemulihan ada di sub-bab tentang Pilar 3: Akses atas Pemulihan).
12 http://www.ungpsreporting.org/reporting-framework/
Berikut adalah beberapa contoh praktik perusahaan yang baik yang sejalan dengan
penghormatan HAM:
PT. PLN (Persero) memiliki dokumen Pedoman Perilaku sejak tahun 2010. Meskipun
tidak menggunakan istilah HAM, tetapi isi dari Pedoman Perilaku ini hampir sejalan
dengan nilai-nilai HAM dan berlaku tidak hanya untuk karyawan PLN tetapi juga untuk
para pemasok dan pihak-pihak lain yang berbisnis dengan PLN. Sebagai contoh:
Pedoman Perilaku PLN mencantumkan larangan untuk menerima dan/atau memberi
suap dan gratifikasi serta larangan untuk bersifat diskriminatif dalam pekerjaan.
Pada tahun 2012, PT. PLN (Persero) bekerja sama dengan lembaga Transparancy
International Indonesia untuk menerapkan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
dan menjalankan Program PLN Bersih di 13 Unit PLN. Anti korupsi berkaitan erat
dengan penegakkan HAM.
24 MODUL PELATIHAN
Contoh Perusahaan Perkebunan yang memiliki praktik yang baik:
Setelah melalui negosiasi dan diskusi yang panjang dengan buruh perkebunan dan
lembaga pendampingnya (OPPUK), PT. Daya Labuhan Indah (Grup Wilmar) akhirnya
menyetujui terbentuknya serikat pekerja yang independen (Serbundo) dan bersedia
menyepakati Perjanjian Kerja Bersama yang terdaftar dalam Surat Keputusan
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Labuhanbatu Nomor
560/166/DSTKT 3/2016. PKB ini memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap
hak-hak pekerja di perkebunan dan dapat dijadikan dasar perundingan yang lebih
setara antara pihak manajemen dan pekerja. PKB ini tidak hanya menghormati hak-
hak pekerja tetapi juga mengurangi risiko perusahaan berkonflik dengan pekerjanya
dan memberikan reputasi yang lebih baik bagi perusahaan.
Tidak. Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) memang selaras dengan
tanggung jawab HAM. Akan tetapi, perusahaan tidak dapat memilih HAM mana
yang mau dihormati, seperti memilih Program CSR.
Tindakan perusahaan dalam menjalankan program CSR bukan didasari atas rasa
kedermawanan perusahaan saja, tetapi sebenarnya juga bertujuan memastikan
tercapainya tujuan dan keberlanjutan usaha (lisensi sosial untuk beroperasi).
Biasanya perusahaan akan memilih kegiatan di bawah payung CSR yang terkait
dengan kepentingan bisnisnya, misalnya: perusahaan farmasi akan lebih banyak
mengalokasikan dana CSR-nya untuk kegiatan kesehatan, sementara perusahaan
ekstraktif yang berada di daerah terpencil akan mengalokasikan sebagian besar
dana CSR-nya untuk membantu membangun sarana-prasarana sosial, pendidikan
dan agama bagi masyarakat sekitar. Sementara perusahaan yang membutuhkan
SDM dengan keterampilan tinggi akan lebih memilih program CSR pemberian
beasiswa untuk pendidikan sarjana atau pasca sarjana. Semua diukur sesuai dengan
kepentingan perusahaan.
Tentu saja hal ini adalah hal yang lumrah, tetapi tidak menggantikan tanggung
jawab perusahaan untuk menghormati seluruh dimensi HAM.
26 MODUL PELATIHAN
Pilar 3: Akses atas pemulihan
Pilar ini terdiri dari 7 (tujuh) Prinsip. Akses atas Pemulihan berarti orang-orang yang terkena
dampak atau merasa dirugikan, dan berhak membawa tuduhan/pengaduannya melalui
jalur hukum atau non-hukum. Keputusan yang diambil melalui salah satu dari jalur tersebut
harus berdasarkan pada prinsip keadilan dan pemulihan yang diberikan harus efektif.
Di dalam akses atas pemulihan ini lah UNGPs kembali menggunakan kata yang lebih tinggi
derajat keharusannya untuk menekankan kewajiban negara untuk menjamin adanya
mekanisme efektif bagi korban untuk mendapatkan pemulihan. Pemulihan disini dapat
berupa permohonan maaf, restitusi, rehabilitasi, ganti rugi keuangan atau non-keuangan
serta jika sesuai sanksi hukuman (baik berupa sanksi pidana, sanksi administratif atau
pengenaan sanksi denda). Dan berusaha mencegah kerugian yang sama terjadi lagi, hal
ini dapat diusahakan dengan meminta komitmen dari pelaku untuk tidak mengulang
tindakannya.
Kriteria yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas mekanisme pemulihan lewat jalur
hukum adalah:
1. Prosedural
ll Biaya
ll Ada/tidak adanya keterwakilan/bantuan hukum
ll Ada/tidak adanya pilihan untuk mengajukan tuntutan kolektif
ll Kemampuan dan sumber daya aparat hukum dalam menangani tuntutan yang
terkait dengan pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan
2. Substantif
ll Kemandirian lembaga peradilan yang bebas dari korupsi
ll Konsep tanggung jawab pidana/perdata perusahaan dalam hukum
ll Perlindungan hukum yang setara bagi kelompok-kelompok rentan
ll Legitimasi
ll Aksesibilitas
ll Prediktabilitas
ll Memperlakukan semua pihak secara setara
ll Transparan
ll Berbasis HAM
ll Sumber pembelajaran yang terus-menerus
ll Berbasis keterlibatan dan dialog (untuk mekanisme pemulihan di lapangan)
Jika diperlukan, perusahaan harus memiliki sistem yang melindungi pengaduan anonim
(whistleblower system) dan semua cara penyelesaiannya harus dipantau, dipelajari dan
ditinjau secara berkala. SOP yang jelas harus dimiliki perusahaan untuk penanganan
pengaduan yang juga mengatur jalur komunikasi dan pengambilan keputusan atas
pengaduan tersebut. Perusahaan juga berkewajiban memastikan pihak yang mengajukan
pengaduan dilindungi dari segala bentuk balas dendam.
Contoh hal-hal yang dapat dilakukan perusahaan: meletakkan kotak saran/kotak pengaduan
di tempat-tempat yang dapat diakses semua pegawai dengan aman, menyebarluaskan
melalui brosur atau gambar tentang jalur dan cara pengaduan, menunjuk pegawai atau
divisi khusus untuk menangani pengaduan. Memastikan pegawai atau divisi tersebut
terlatih dan memahami prinsip-prinsip HAM yang mendasari mekanisme penanganan
pengaduan tersebut.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan perhatian perusahaan adalah membawa
pengaduan ke tingkat pengambil keputusan tertinggi, biasanya Dewan Direksi atau RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham) jika perusahaan tersebut adalah perusahaan terbuka.
Jika pengaduan atau keluhan tersebut valid, maka perusahaan harus mengambil langkah-
langkah untuk memberikan ganti rugi dan memperbaiki kesalahannya. Pemulihan
tidak hanya dilakukan berupa kompensasi moneter saja. Tetapi perusahaan juga harus
memastikan hal yang sama tidak terulang lagi atau menimpa korban lain, misalnya dengan
menerapkan sistem pengawasan yang lebih baik dan merevisi SOP serta menerapkan
praktik kerja yang lebih baik sesuai dengan standar-standar internasional untuk mencegah
dampak negatif HAM.
28 MODUL PELATIHAN
Catatan bagi pihak yang melakukan pendampingan:
Selain itu, penting juga untuk mengetahui sertifikasi yang diikuti oleh perusahaan (mis:
ISO 26000 atau SA 8000) dan kewajiban pelaporan (mis: Sustainability Reporting
atau Laporan Global Compact) sebagai cara untuk memantau dan memverifikasi
pernyataan dan tindakan perusahaaan.
Pemulihan Negara
Pemulihan yang diupayakan melalui mekanisme negara dapat dilakukan lewat mekanisme
peradilan (mis: Pengadilan Umum, PTUN, Pengadilan Hubungan Industrial, dll) atau
mekanisme lain, seperti Komnas HAM, Ombudsman, Mediasi atau Arbitrase. Pemulihan
lewat mekanisme negara dapat diajukan secara perseorangan atau berkelompok, dalam
istilah hukum dikenal dengan nama Gugatan Class Action atau Gugatan Legal Standing/
Actio popularis/Citizen Lawsuit. Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan
mekanisme pengajuan gugatan berkelompok:
1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam kasus yang terkenal sebagai
kasus Dana Reboisasi, yang diajukan WALHI, dkk., sebagai Penggugat vs. Presiden
RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap pembatalan Surat Keputusan Presiden
No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada Perusahaan Perseroan (Persero)
PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).
2. Warga memenangkan gugatan terhadap Wali Kota Bekasi di Pengadilan Tata Usaha
Negara Bandung, Kamis 16 Mei 2013. Wali Kota diperintahkan mencabut izin pabrik PT
Karya Beton Sudira yang berada di lingkungan Perumahan Pemda Kelurahan Jatiasih,
Kota Bekasi. Majelis hakim yang dipimpin Edi Firmansyah menyatakan izin perusahaan
yang memproduksi beton ready mix itu melanggar Peraturan Daerah Nomor 6 dan
Nomor 13 tahun 2011. Ketentuan itu tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan
peruntukkan lahan.
Kriteria-kriteria yang sudah disampaikan di atas dapat digunakan untuk menilai apakah
mekanisme pemulihannya cukup baik atau tidak. Tentu saja kita perlu menyadari berbagai
keterbatasan di lapangan, seperti tidak adanya tenaga mediator yang mumpuni dan
mengetahui konteks masalah, atau proses pengadilan yang lama dan berbelit-belit
sehingga memberatkan para pencari keadilan. Disini, sekali lagi peran para pemangku
kepentingan yang bisa mendampingi dan membantu korban menjadi sangat penting.
Selain itu, pemulihan juga dapat diupayakan melalui negara tempat kantor pusat suatu
perusahaan transnasional terdaftar. Misalnya, di Amerika Serikat dikenal satu mekanisme
gugatan perdata yang bernama Alien Torts Claim Act. Salah satu contoh kasus yang
pernah diajukan melalui mekanisme ini adalah gugatan terhadap PT. Unocal yang diadukan
ke pengadilan atas keterlibatan perusahaan tersebut dalam sejumlah pelanggaran HAM
terhadap warga negara Myanmar, seperti kerja paksa, pemenjaraan yang tidak sah,
perkosaan, penyiksaan, pembunuhan, dll yang dilakukan oleh Junta Militer Burma dalam
proyek pembangunan pipa gas Yadana di Myanmar (Doe I v. Unocal Corp., 395 F.3d 932,
942-43 (9th Cir. 2002)). Kasus ini kemudian diselesaikan di luar pengadilan.
Pemulihan Non-Negara
Pemulihan tidak hanya dapat dimintakan melalui mekanisme negara, seperti lewat
pengadilan atau pengaduan ke Komnas HAM atau lembaga lainnya. Pemulihan juga
dapat diusahakan melalui mekanisme lain, misalnya melalui National Contact Point (NCP)
negara-negara anggota OECD (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan)
untuk perusahaan yang didirikan atau berkantor pusat di salah satu negara anggota
OECD. Atau melalui Inisiatif Multi Pemangku Kepentingan. Berikut ini diberikan dua contoh
pengaduan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia dan Internasional ke
mekanisme pemulihan non-negara.
30 MODUL PELATIHAN
Contoh:
32 MODUL PELATIHAN
Perusahaan tidak memberikan uang lembur bahkan
ketika pekerja harus masuk kerja pada hari raya agama Boleh Tidak boleh
atau tengah malam
Kewajiban negara untuk melindungi HAM dan menyediakan akses untuk pemulihan
dapat dinilai melalui mekanisme-mekanisme yang sudah ada, misalnya: laporan negara
ke mekanisme HAM PBB, seperti UPR atau laporan HAM tahunan yang dikeluarkan oleh
lembaga negara seperti Komnas HAM atau organisasi masyarakat sipil. Tetapi bagaimana
kita dapat menggunakan UNGPs untuk menilai perusahaan?
Berikut ini adalah beberapa contoh langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menilai
tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM.13
Untuk menilai sejauh mana perusahaan memenuhi Prinsip 16 ini, pemangku kepentingan
lain dapat:
ll Memeriksa apakah ada kebijakan HAM perusahaan yang dapat diperoleh melalui
komunikasi publik (lihat keterangan Bab 3 Pilar 2);
ll Memeriksa apakah kebijakan HAM perusahaan (jika ada) menyatakan siapa yang
menyetujui kebijakan tersebut dan siapa penanggung jawab implementasinya.
Jika tidak ada penjelasan tentang hal ini, coba hubungi langsung perusahaan dan
mintakan informasi yang terkait dengan UNGPs;
13 SOMO, CEDHA, Cividep India, How to use the UN Guiding Principles on Business and Human Rights in company research and
advocacy, November 2012.
36 MODUL PELATIHAN
ll Menghubungi beberapa departemen atau bagian di perusahaan, mitra usaha,
pihak-pihak yang HAM-nya berpotensi dipengaruhi perusahaan (contoh: pekerja,
serikat pekerja, warga sekitar, konsumen, dll) serta pemangku kepentingan
lain, untuk melakukan pemeriksaan silang apakah mereka mengetahui tentang
kebijakan/komitmen tersebut;
ll Memeriksa juga dokumen perusahaan lain, misalnya laporan tahunan, laporan CSR,
atau laporan keberlanjutan atau laporan untuk inisiatif internasional (contoh: Global
Compact atau RSPO) untuk melihat apakah kebijakan/komitmen HAM tercermin di
dalam dokumen-dokumen tersebut.
Selain harus memiliki kebijakan HAM, perusahaan diminta untuk melakukan uji tuntas
tentang HAM. Penting bagi perusahaan untuk mengikuti proses uji tuntas untuk mencegah
terjadinya dampak negatif HAM. Uji tuntas HAM meminta perusahaan untuk melakukan
upaya terbaik mereka demi mencegah dampak, dan mengetahui serta menunjukkan
cara mereka melakukannya. Penjelasan Prinsip 21 menyatakan: Menunjukkan berarti
berkomunikasi, transparan dan akuntabel kepada perorangan atau kelompok yang
mungkin terkena dampak dan pemangku kepentingan lain, termasuk penanam modal.
Untuk menilai sejauh mana perusahaan memenuhi Prinsip 17 ini, pemangku kepentingan
lain perlu:
ll Memetakan struktur perusahaan, rantai pasokan, dan hubungan bisnis serta risiko
HAM yang mungkin terjadi;
ll Memeriksa konteks HAM yang dimasuki perusahaan;
ll Menggunakan pengetahuan mereka tentang kondisi lokal dan keahlian mereka
tentang risiko HAM yang ada di negara atau wilayah, konteks, dan sektor usaha tertentu
Prinsip 15 dari UNGPs menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi tanggung jawab
mereka untuk menghormati HAM, perusahaan harus memiliki kebijakan dan proses yang
layak sesuai dengan ukuran dan keadaannya, termasuk:
a. Suatu kebijakan komitmen untuk memenuhi tanggung jawab mereka untuk
menghormati HAM
b. Proses uji tuntas HAM untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan
bertanggung jawab atas cara mereka mengatasi dampak HAM
c. Proses untuk melakukan pemulihan atas setiap dampak buruk HAM yang merugikan
yang disebabkan atau dikontribusikan oleh perusahaan
38 MODUL PELATIHAN
Untuk memeriksa sejauh mana tingkat kepatuhan perusahaan menghormati hukum
nasional dan standar HAM internasional yang ada, pemangku kepentingan lain dapat:
Jika terbukti bahwa telah terjadi dampak negatif atas HAM yang berhubungan dengan
keberadaan, operasi atau praktik perusahaan, maka yang dapat dilakukan adalah:
Peserta bekerja dalam kelompok kecil dan diminta untuk menggambarkan simbol-simbol
yang menurut mereka mewakili apa yang diharapkan dari pekerjaan dan tempat kerja
yang layak.
Pada tahun 2014, tiga tahun setelah diadopsinya UNGPs, Dewan HAM PBB menghimbau
seluruh negara anggota PBB untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk
mendukung implementasi UNGPs di masing-masing negara.
RAN adalah dokumen kebijakan yang dikeluarkan negara untuk menjelaskan prioritas dan
aksi yang akan diambil untuk mendukung komitmen dan kewajiban internasional di bidang
tertentu. Sejak tahun 1998, Indonesia juga sudah memiliki Rencana Aksi Nasional tentang
Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang diperbaharui setiap 5 (lima) tahun sekali. RANHAM
ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk kepada lembaga-lembaga pemerintah di
tingkat pusat dan daerah tentang apa yang perlu dilakukan dalam kurun waktu 5 (lima)
tahun tersebut untuk memenuhi kewajiban HAM negara.
Saat ini, Indonesia berencana membuat RAN khusus untuk topik bisnis dan HAM. Komnas
HAM, dibantu dengan organisasi masyarakat sipil, sebagai ujung tombak perumusan RAN
tentang Bisnis dan HAM Indonesia sedang melakukan berbagai konsultasi dengan sejumlah
pemangku kepentingan dari pemerintah, pelaku bisnis dan organisasi masyarakat sipil.
RAN ini diharapkan dapat membantu memberikan peta jalan kepada lembaga-lembaga
negara dan perusahaan untuk menerapkan UNGPs.
Jika RAN ini selesai dikembangkan, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara yang
berhasil membuatnya (10 negara lain yang sudah memiliki RAN ini adalah Inggris, Belanda,
Italia, Denmark, Spanyol, Finlandia, Lithuania, Swedia, Norwegia, dan Kolombia dan ada 19
negara lain yang juga sudah berkomitmen untuk memiliki RAN)15.
Indonesia adalah satu dari delapan negara dimana perumusan RAN ini dilakukan oleh
Lembaga HAM Nasional (Komnas HAM) bersama dengan masyarakat sipil. Negara-negara
lain yang melakukan proses yang sama adalah Ghana, Kazakhstan, Nigeria, Republik Korea,
Afrika Selatan, Tanzania dan Filipina.
Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan HAM menyarankan agar pemerintah melakukan 5
(lima) fase untuk pembuatan RAN:
14 HRRC, Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study, Laporan Indonesia oleh Patricia Rinwigati Waagstein, Tabel 1.
15 Per Agustus 2016.
42 MODUL PELATIHAN
1. Inisiasi pemerintah
2. Penilaian dan konsultasi
3. Perumusan rancangan awal RAN
4. Implementasi
5. Pemutakhiran
RAN akan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, termasuk perusahaan, karena:
RAN juga bermanfaat bagi pemangku kepentingan lain sebagai dasar dan tolak ukur untuk
menilai sejauh mana negara memenuhi kewajibannya untuk melindungi HAM penduduknya
dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga (perusahaan), sejauh mana perusahaan
memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati HAM, dan seberapa efektif akses atas
pemulihan yang tersedia bagi korban.
Refleksi
Setelah mengetahui tentang Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs)
ini, diskusikan dalam kelompok-kelompok kecil:
16 http://www.global-business-initiative.org/wp-content/uploads/2015/11/National_Action_Plans_on_Business_and_Human_Rights-
GBI-CC.pdf.
Kegiatan Kecil 2:
Tanyakan ketiga pertanyaan ini secara berurutan. Tidak perlu membagi peserta ke dalam
kelompok kecil, yang diharapkan adalah jawaban perorangan. Tuliskan secara ringkas
jawaban yang diberikan dalam 3 kertas plano yang berbeda dan tempelkan di sisi ruangan.
Kegiatan Kecil 3:
Kegiatan perorangan. Tujuan kegiatan ini adalah mencocokan situasi di sisi kiri dengan
tindakan penanganan yang tepat di sisi kanan. Isi dari kegiatan ini merangkum lebih dari
80% isi Pilar 1 UNGPs.
Kegiatan Kecil 4:
Kegiatan dilakukan secara berpasangan, jika jumlah peserta ganjil maka ada 1 tim yang
beranggotakan 3 orang. Tujuan kegiatan ini adalah agar peserta mendiskusikan 2 (dua)
hal, pertama, HAM yang paling relevan, kedua kapan atau dalam situasi seperti apa
HAM tersebut menjadi relevan. Masing-masing tim membahas satu sektor industri lalu
mempresentasikannya.
Perhatikan dan berikan catatan setelah kegiatan agar peserta juga memikirkan tentang
HAM yang relevan dari rantai pasokan industrinya.
Kegiatan Kecil 5:
Sesuai judulnya, yang paling cepat tunjuk tangan dan menjawab dengan benar akan dapat
1 poin. Pada akhir kegiatan, peserta dengan poin terbanyak akan mendapatkan hadiah.
Trainer diharapkan memberikan penjelasan singkat tentang setiap jawaban yang benar
dan peserta dapat melingkari jawaban yang benar tersebut di dalam buku mereka.
Kegiatan Kecil 6:
Ini adalah kegiatan menggambar berkelompok, dimana peserta diminta menggambarkan
simbol-simbol yang melambangkan pekerjaan dan situasi kerja yang layak. Trainer dapat
memberikan contoh misalnya, peserta bisa menggambar tumpukan uang logam sebagai
lambang upah yang layak, peserta mungkin bisa menggambar bayi sebagai lambang
mereka perlu Tempat Penitipan Anak selama bekerja, gambar botol air sebagai lambang
44 MODUL PELATIHAN
perlunya disediakan air minum yang cukup di tempat mereka bekerja, menggambar buku
sebagai lambang kontrak kerja yang jelas.
Setiap kelompok diminta untuk menunjuk satu anggota untuk tetap di tempat dan
mempresentasikan hasil karya mereka kepada pengunjung sementara anggota kelompok
yang lain berkunjung ke kelompok-kelompok lain. Nanti harus ada yang menggantikan
agar anggota yang tadi berjaga untuk presentasi juga bisa melakukan kunjungan.
Akhiri dengan melakukan refleksi, tanyakan kepada peserta tentang perbedaan apa yang
mereka temukan dari kelompok lain.
HAM yang diakui secara DUHAM Instrumen Soft law (Prinsip & UUD 1945 UU Ratifikasi UU No. 39 Peraturan Yurisprudensi
internasional 1948 Internasional Deklarasi) Tahun 1999 Perundang- MK dan MA, dan
tentang undangan Lain Ketentuan selain
HAM UU
Hak atas Kebebasan, Pasal 1 ICERD 1965 Pasal 28H(2) UU No. 29/1999 Pasal 3(1) UU No. 40/2008
Kesetaraan, Tanpa Pasal 2 ICCPR 1966 Pasal 28I(2) UU No. 12/2005 Pasal 3(3)
Diskriminasi karena Ras, ICESCR 1966 UU No. 11/2005
Warna Kulit, Jender, ILO Convention No. UU No. 21/1999
Bahasa, Agama, Pendapat 111/1958
Politik atau lainnya, Genocide
Kewarganegaraan atau Convention 1948
Latar Belakang Sosial,
Kelahiran atau Status
Lainnya
Hak atas Hidup Pasal 3 ICCPR 1966 Prinsip-Prinsip Dasar Pasal 28A UU No. 12/2005 Pasal 4 UU No. 2/2002 Putusan MK No. 2-3/
ICESCR 1966 tentang Penggunaan UU No. 11/2005 Pasal 9 UU No. 26/2000 PUU-V/2007
ICPPED 2007 Kekerasan dan
Senjata Api
Hak atas Kebebasan dan Pasal 3 ICCPR 1966 Prinsip-Prinsip Dasar Pasal 28G(1) UU No. 12/2005 Pasal 4 UU No. 2/2002
Keamanan Diri ICESCR 1966 tentang Penggunaan UU No. 11/2005 Pasal 21 UU No. 26/2000
ICPPED 2007 Kekerasan dan Pasal 29(1)
Senjata Api Pasal 30
Hak untuk Bebas dari Pasal 4 ICCPR 1966 UU No. 12/2005 Pasal 4
Perbudakan dan Kerja ILO Convention No. UU No. 19/1999 Pasal 20
Paksa 105/1957
Hak untuk Bebas dari Pasal 5 ICCPR 1966 Pasal 28G(2) UU No. 12/2005 Pasal 4 UU No. 26/2000
Penyiksaan, Perlakuan CAT 1984 UU No. 5/1998 Pasal 33
dan Hukuman Lain yang ICPPED 2007
Kejam, Tidak Manusiawi
dan Merendahkan
Martabat
Hak untuk pengakuan, Pasal 6 ICCPR 1966 Aturan Perilaku bagi Pasal 27(1) UU No. 12/2005 Pasal 3(2) UU No. 8/1981 Putusan MK No.
jaminan, perlindungan, Pasal 7 ICPPED 2007 Aparat Penegak Pasal 28D(1) Pasal 4 UU No. 48/2009 065/PUU-II/2004
dan kepastian hukum yang Pasal 8 Hukum Pasal 5 UU No. 18/2003 PP No. 44/2008
adil serta perlakuan yang Pasal 9 Kumpulan Prinsip Pasal 17 UU No. 8/2011
sama dihadapan hukum Pasal 10 untuk Perlindungan Pasal 18 UU No. 18/2011
(dari penangkapan s/d Pasal 11 Semua Orang Pasal 19 UU No. 13/2006
pemenjaraan) terhadap Semua Pasal 29(2) UU No. 30/2002
Bentuk Penahanan Pasal 34 UU No. 16/2011
dan Pemenjaraan UU No. 2/2002
Deklarasi Dasar UU No. 12/1995
Prinsip-Prinsip UU No. 26/2000
Peradilan Bagi Korban
Kejahatan dan Korban
Penyalahgunaan
Wewenang 1985
Peraturan Standar
Minimum untuk
Perlakuan terhadap
Tahanan
Peraturan Standar
Minimum untuk
Tindakan Non-
penahanan
Prinsip-Prinsip
Bangalore tentang
Perilaku Peradilan
Hak atas Privasi Pasal 12 ICCPR 1966 Pasal 28H UU No. 12/2005 Pasal 31 Putusan MK No.5/
Pasal 32 PUU-VIII/2010
Hak Meminta Suaka Pasal 14 ICCPR 1966 Pasal 28G(2) UU No. 12/2005 Pasal 28
Refugee
Convention 1951
46 MODUL PELATIHAN
HAM yang diakui secara DUHAM Instrumen Soft law (Prinsip & UUD 1945 UU Ratifikasi UU No. 39 Peraturan Yurisprudensi
internasional 1948 Internasional Deklarasi) Tahun 1999 Perundang- MK dan MA, dan
tentang undangan Lain Ketentuan selain
HAM UU
Hak atas Kewarganegaraan Pasal 15 ICCPR 1966 Pasal 28D(4) UU No. 12/2005 Pasal 26 UU No. 12/2006
Hak Membentuk & Pasal 16 ICCPR 1966 Pasal 28B(1) UU No. 12/2005 Pasal 10 UU No. 1/1974
Perlindungan atas ICESCR 1966 UU No. 11/2005
Keluarga
Hak untuk Pasal 22 ICESCR 1966 Pasal 28C(1) UU No. 11/2005 Pasal 11 UU No. 12/2012
Mengembangkan Diri
Hak atas Kepemilikan Pasal 17 ICESCR 1966 Pasal 28H(4) UU No. 11/2005 Pasal 36 UU No. 5/1960
UU No. 15/1997
UU No. 8/1999
UU No. 18/2004
UU No. 11/2010
UU No. 1/2011
UU No. 2/2012
Hak Kebebasan Beragama Pasal 18 ICCPR 1966 Pasal 28E(1) UU No. 12/2005 Pasal 4 UU No. 17/2013 Putusan MK No.
dan Berkeyakinan Pasal 29(2) Pasal 22 UU No. 23/2011 140/PUU-VII/2009
Putusan MK No. 86/
PUU-X/2012
Kebebasan Berpendapat Pasal 19 ICCPR 1966 Pasal 28 UU No. 12/2005 Pasal 23 UU No. 11/2008 Putusan MK No.
dan Berekspresi Pasal 28E(2) UU No. 17/2013 140/PUU-VII/2009
Pasal 28E(3)
Hak Berserikat, Berkumpul, Pasal 20 ICCPR 1966 Pasal 28 UU No. 12/2005 Pasal 24 UU No. 21/2000
Mendirikan dan Pasal 23(4) ICESCR 1966 Pasal 28E(3) UU No. 11/2005 Pasal 25 UU No. 13/2003
Bergabung dengan Serikat ILO Convention No. Keppres No. Pasal 39 UU No. 17/2013
Pekerja 87/1948 83/1998
ILO Convention No. UU No. 18/1956
98/1949
ILO Convention No.
141/1975
Hak untuk Ikut Serta dalam Pasal 21 ICCPR 1966 Pasal 28D(3) UU No. 12/2005 Pasal 43 UU No. 6/2014 Putusan MK No. 5/
Pemerintahan UU No. 23/2014 PUU-V/2007
Putusan MK No.
102/PUU-VII/2009
Hak atas Jaminan Sosial Pasal 22 ICESCR 1966 Pasal 28H(3) UU No. 11/2005 Pasal 41(1) UU No. 13/2003 Putusan MK No.
ILO Convention No. Pasal 34(2) UU No. 40/2004 007/PUU-III/2005
102/1952 UU No. 24/2011
Hak untuk Menikmati Pasal 22 ICESCR 1966 UU No. 11/2005 Pasal 13 UU No. 11/2010
Kemajuan Ekonomi, Sosial, Pasal 27
Teknologi, Budaya
Hak Berkomunikasi dan Pasal 28F UU No. 12/2005 Pasal 14 UU No. 14/2008
Mencari, Memperoleh,
Menyimpan, Mengolah,
dan Menyampaikan
Informasi
Hak atas Pekerjaan dan Pasal 23(1) ICESCR 1966 Pasal 27(2) UU No. 11/2005 Pasal 38(1)(2) UU No. 1/1970 Putusan MK No.
Kondisi Kerja yang Layak ILO Convention No. Pasal 28D(2) UU No. 13/2003 100/PUU-X/2012
155/1981
ILO Convention No.
148/1977
ILO Convention No.
184/2001
ILO Convention No.
189/2011
Hak atas Upah yang Layak Pasal 23(2) ICESCR 1966 Pasal 28D(2) UU No. 11/2005 Pasal 38(3)(4) UU No. 13/2003 Putusan MK No.
tanpa Diskriminasi Pasal 23(3) ILO Convention No. UU No. 80/1957 100/PUU-X/2012
100/1951 UU No. 21/1999
ILO Convention No.
111/1958
ILO Convention No.
95/1949
ILO Convention No.
189/2011
Hak Beristirahat dan Cuti Pasal 24 ICESCR 1966 UU No. 11/2005 UU No. 13/2003
dalam Tanggungan
Hak atas Kesehatan Pasal 25 ICESCR 1966 Pasal 28H(1) UU No. 11/2005 UU No. 36/2009
Hak atas Pendidikan Pasal 26 ICESCR 1966 Pasal 31(1) UU No. 11/2005 Pasal 12 UU No. 20/2003 Putusan MK No. 011/
CRC 1990 Keppres No. UU No. 12/2012 PUU-III/2005
36/1990 Putusan MK No. 24/
PUU-V/2007
Hak Ekonomi Pasal 22 ICESCR 1966 UU No. 11/2005 UU No. 3/2014 Putusan MK No. 21-
22/PUU-V/2007
Hak atas Perumahan ICESCR 1966 Pasal 28H(1) UU No. 11/2005 Pasal 40 UU No. 1/2011
UU No. 15/1997
Hak atas Lingkungan yang ICESCR 1966 Pasal 28H(1) UU No. 11/2005 Pasal 9(3) UU No. 40/2007
Bersih UU No. 32/2009
UU No. 36/2009
UU No. 1/2011
UU No. 3/2014
UU No. 37/2014
Hak atas Air dan Sanitasi ICESCR 1966 Resolusi Majelis UU No. 11/2005 UU No. 11/1974 Putusan MK No.
CEDAW 1979 Umum PBB No. UU No. 7/1984 UU No. 3/2014 058-059-060-063/
CRC 1990 64/292 Tahun 2010 Keppres No. UU No. 37/2014 PUU-II/2004
ICRPD 2006 36/1990 Putusan MK No. 85/
UU No. 19/2011 PUU-XI/2013
Hak atas Tanah CEDAW 1979 Deklarasi Vancouver UU No. 7/1984 UU No. 5/1960
ICERD 1965 UU No. 29/1999 UU No. 15/1997
UU No. 18/2004
UU No. 1/2011
UU No. 2/2012
Hak-Hak Perempuan Pasal 23(2) ICCPR 1966 Deklarasi tentang UU No. 12/2005 Pasal 5(3) UU No. 21/2007
ICESCR 1966 Penghapusan UU No. 11/2005 Pasal 41(2) UU No. 23/2004
CEDAW 1979 Kekerasan terhadap UU No. 7/1984 Pasal 45-51 UU No. 36/2009
ILO Convention No. Perempuan 1993 UU No. 80/1957 UU No. 13/2003
100/1951 UU No. 21/1999
ILO Convention No.
111/1958
ILO Convention No.
189/2011
Hak-Hak Anak ICESCR 1966 Peraturan Minimum Pasal 28B(2) UU No. 11/2005 Pasal 5(3) UU No. 11/2012
CRC 1990 PBB bagi Administrasi Keppres No. Pasal 41(2) UU No. 36/2009
OP I CRC 2000 Peradilan Anak 36/1990 Pasal 52-66 UU No. 23/2002
OP II CRC 2000 (Beijing Rules) UU No. 9/2012 UU No. 13/2003
ILO Convention No. Pedoman PBB UU No. 10/2012
138/1973 untuk Pencegahan UU No. 20/1999
ILO Convention No. Kejahatan Anak-Anak UU No. 1/2000
182/1999 (Riyadh Guidelines)
ILO Convention No.
77/1946
ILO Convention No.
78/1946
ILO Convention No.
189/2011
Hak-Hak Pekerja Migran ICRMW 1990 UU No. 39/2004 Pasal 5(3) UU No. 13/2003
ILO Convention No.
97/1949
ILO Convention No.
143/1975
ILO Convention No.
189/2011
Hak-Hak Penyandang Pasal 1 ICRPD 2006 Deklarasi tentang Pasal 28I(2) UU No. 19/2011 Pasal 5(3) UU No. 8/2016 PP No. 43/1998
Disabilitas Pasal 2 ILO Convention No. Hak-Hak Orang Pasal 41(2) UU No. 13/2003 No. Registrasi MA
159/1983 dengan Disabilitas Pasal 42 UU No. 36/2009 595 K/TUN/2005,
1975 UU No. 20/2003 Pemkot Surabaya
Peraturan-Peraturan vs. Wuri Handayani
PBB tentang Memorandum
Penyetaraan Peluang Komnas HAM no.
bagi Penyandang 102/PK-KHUSUS/
Disabilitas 1993 III/2005
Hak Orientasi Seksual dan Pasal 1 ICCPR 1966 Prinsip-Prinsip UU No. 11/2005 Pasal 5(3)
Identitas Jender Pasal 2 Yogyakarta
Hak-Hak Masyarakat Adat Pasal 1 ICESCR 1966 Deklarasi PBB tentang Pasal 18B(2) UU No. 11/2005 Pasal 5(3) UU No.6/2014 Putusan MK No. 35/
Pasal 2 ILO Convention No. Hak-Hak Masyarakat Pasal 28I(3) Pasal 6 UU No. 41/1999 PUU-IX/2012
169/1989 Adat UU No. 18/2004
Deklarasi tentang UU No. 20/2003
Hak-Hak Orang- UU No. 11/2010
Orang yang Berasal
dari Suku Bangsa
atau Etnis, Agama
dan Bahasa Minoritas
48 MODUL PELATIHAN
LAMPIRAN 2:
REKOMENDASI BAHAN BACAAN
LAIN TENTANG UNGPS
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
ll OHCHR, Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United
Nations Protect, Respect and Remedy Framework, 2011
ll OHCHR, The Corporate Responsibility to Respect: An Interpretive Guide, 2012
ll John Ruggie, Just Business, 2012
ll Castan Centre for Human Rights Law at Monash University et all, Human Rights
Translated: A Business Reference Guide, University et all, http://humanrights.
unglobalcompact.org/doc/human_rights_translated.pdf
3. Perusahaan tidak melaporkan data jumlah pekerja yang sebenarnya ke Disnaker agar
tidak perlu menyediakan BPJS Ketenagakerjaan
Tidak boleh, hal ini mengindikasikan perusahaan tidak memiliki itikad baik untuk
memenuhi kewajibannya dan juga melakukan tindak pemalsuan data.
5. Perusahaan menyediakan APD (mis. masker, sepatu boot, helm, rompi) tetapi pekerja
menolak menggunakan dengan alasan tidak praktis
Benar untuk perusahaan memenuhi kewajiban untuk memastikan keselamatan
pekerjanya.
Tidak benar untuk pekerja yang mengorbankan keselamatan dirinya.
6. Perusahaan menyediakan APD hanya ketika akan disertifikasi, selebihnya pekerja harus
membeli sendiri dan dipotong dari upahnya
Tidak benar karena keselamatan pekerja adalah tanggung jawab perusahaan
dan tidak boleh hanya dilakukan untuk kepentingan membangun citra positif
perusahaan di mata pihak luar (contoh: runtuhnya gedung Rana Plaza di Bangladesh
dapat dijadikan contoh pembanding tentang bahayanya hal ini).
50 MODUL PELATIHAN
7. Perusahaan memiliki mekanisme pengaduan tetapi hanya diketahui oleh pihak
manajemen
Tidak cukup. Mekanisme pengaduan harus diketahui oleh semua pekerja dan
pemangku kepentingan (salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah aksesibilitas).
9. Perusahaan hanya mempekerjakan penduduk lokal sebagai buruh harian lepas tanpa
ada kesempatan menjadi pegawai kontrak atau tetap
Tidak boleh karena kebijakan tersebut merugikan penduduk lokal dan tidak sesuai
dengan semangat UU Ketenagakerjaan.
10. Perusahaan memberikan dispensasi keringanan kerja bagi buruh perempuan yang
baru mulai bekerja setelah melahirkan
Baik karena perusahaan memperhatikan kerentanan khusus yang dialami pekerja
perempuan yang baru melahirkan dan berusaha membantu meringankan
keadaannya sampai si pekerja terbiasa dengan peran barunya sebagai ibu.
11. Perusahaan tidak memberikan uang lembur bahkan ketika pekerja harus masuk kerja
pada hari raya agama atau tengah malam
Tidak boleh. Pekerjaan yang dilakukan melebihi jam kerja normal harus diberikan
kompensasi yang sesuai.
12. Perusahaan membiarkan pekerjanya membentuk serikat pekerja tetapi hanya mau
berbicara dengan serikat bentukan manajemen
Tidak boleh. Pekerja berhak bergabung dengan serikat pekerja pilihannya dan
serikat pekerja tersebut berhak mewakili kepentingan anggotanya ketika ada hal-
hal yang harus dinegosiasikan dengan pihak perusahaan, termasuk dala lembaga
kerja sama tripartit.
13. Perusahaan bersedia mempekerjakan seseorang dengan syarat dia mau pindah ke
agama tertentu
Tidak boleh. Perusahaan tidak boleh melakukan diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, agama, suku bangsa, atau kewarganegaraan, status pernikahan atau opini
politik. Selain itu, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu
HAM dasar yang tidak boleh diintervensi pihak manapun.
15. Perusahaan hanya menandai 1/4 dari keseluruhan tanah pemakaman adat yang sakral
sebagai bagian dari HCV-nya
Tidak benar. Perusahaan wajib menghargai adat dan budaya masyarakat dimana
mereka beroperasi. Memasukkan wilayah yang dianggap sakral sebagai bagian
dari wilayah Nilai Konservasi Tinggi (HCV) perusahaan adalah salah satu bentuk
penerapan penghargaan tersebut dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
16. Perusahaan tidak memiliki tenaga medis atau sarana pengobatan untuk menangani
kecelakaan kerja
Tidak benar. Perusahaan bertanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan
pekerja selama bekerja dan menyediakan kondisi kerja yang layak. Ketika
perusahaan berada jauh dari RS atau klinik umum, akan lebih baik mereka memiliki
tenaga medis-nya sendiri agar dapat melakukan tindakan penyelamatan pertama
(P3K) ketika ada kondisi darurat seperti kecelakaan kerja.
17. Perusahaan mengadakan Pasar Sembako murah secara rutin untuk penduduk desa
sekitar
Baik. Hal ini dapat dilakukan sebagai bagian dari program CSR perusahaan.
18. Perusahaan memberikan bantuan biaya pendidikan (beasiswa) untuk anak pekerja
yang berprestasi
Baik. Hal ini dapat dilakukan sebagai bagian dari program CSR perusahaan.
19. Perusahaan melarang pekerja anak tetapi memberikan target yang tidak mungkin
dipenuhi oleh pekerjanya seorang diri, sehingga pekerja harus meminta istri dan anak-
anaknya untuk membantu
Tidak benar karena hal ini mengakibatkan adanya fenomena pekerja anak
terselubung.
52 MODUL PELATIHAN
Penerbitan buku ini didukung oleh:
Materi publikasi ini diproduksi dengan bantuan hibah dari Uni Eropa dan bekerjasama dengan OXFAM,
IGCN. Pendapat/pandangan yang dinyatakan dalam materi publikasi ini sepenuhnya merupakan
tanggung jawab INFID dan bukan mencerminkan/pandangan Uni Eropa, OXFAM dan IGCN.
Indonesia Global Compact Network (IGCN) merupakan jaringan lokal dari
UN Global Compact (UNGC), suatu inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang mengikutsertakan sektor swasta, organisasi non pemerintah serta
akademia untuk bersama-sama mendukung pencapaian SDGs. Dari berbagai
isu yang diperhatikan di bawah empat pilar UNGC yakni HAM, Ketenegakerjaan,
Lingkungan, dan Anti Korupsi, IGCN mengangkat isu bisnis & HAM melalui
Business & Human Rights Working Group (B&HRWG).